NAMA ALLAH BAGI BANGSA BATAK TOBA

PENGANTAR

Dunia dewasa ini ditandai dan diwarnai oleh pluralisme keagamaan. Agama-agama secara berbeda mengekspresikan imannya akan yang ilahi dan membentuk dasar bagi keyakinan mereka akan kehadiran yang ilahi itu. Dalam level ini, agama-agama tentu saja berbeda dan plural. Setiap orang, kelompok, kultur, atau tradisi religius memiliki praasumsi, konsep, dan representasi yang berbeda-beda tentang Allah. Siapakah Allah? Apakah Allah? Dan bagaimanakah Allah?[1]

Untuk menjawab pertanyaan di atas, penulis akan mencoba menguraikan sedikit siapakah dan bagaimanakah Allah bagi Bangsa Batak yang didahului dengan sekelumit tentang sejarah suku bangsa Batak Toba. lebih lanjut, penulis akan mencoba menghubungkannya dengan Allahnya orang kristen–mengapa ada nama Debata dalam Alkitab? dan secara khusus agama Katolik?

1. SEKELUMIT TENTANG SEJARAH SUKU BANGSA BATAK

Berdasarkan hasil penelitian Kontelir G. J.J. Deutz (1872) terhadap batu tertulis yang didapati di Lobu Tua dekat Kota Barus (Tapanuli Tengah), yang isinya baru dapat dibaca pada tahun 1932 oleh Prof. Nilakantisastri mengatakan bahwa: Pada tahun ±1088 M ada 1500 orang Tamil dari India Selatan bertempat tinggal di Barus. Mereka membentuk kesatuan perdagangan untuk mencegah persaingan sesama mereka dalam dagang kapur barus dan kemenyan.[2]

Orang-orang India masuk ke Tanah Batak melalui kota Barus (Baros) dan Tapanuli Selatan yang pada waktu itu merupakan kota perniagaan yang sangat penting dalam perdagangan gading badak, gading gajah, kapur barus, kemenyan, emas, dsb. Untuk memperlancar dan mempermudah penyaluran barang-barang dagangan ke luar negeri, mereka membentuk kongsi perdagangan dan sekaligus mendirikan sebuah perkampungan di daerah Barus. Diketahui bahwa orang-orang India Selatan ini datang dari daerah Cola, Pandya, Malayalam, dan lain sebagainya. Mereka dari turunan-turunan orang Tamil yang kemudian hari tinggal menetap di Barus dan Kalasan. Lambat laun sebagian dari  mereka mulai masuk ke daerah pedalaman Tapanuli dan melakukan kontak dengan penduduk yang ada di sana. Mungkin karena putus hubungan dengan tanah airnya India, mereka terlebur ke dalam suku bangsa Batak. Dapat dipastikan, bahwa sebagian dari marga Sembiring adalah keturunan mereka; teristimewa yang nama-nama marganya menunjukkan asalnya yaitu: Colia, Pandia, Pelawi, Meliala, juga Brahmana dan Keling.[3]

Kontak yang cukup lama antara orang India dengan orang Batak mengakibatkan terjadinya percampuran kebudayaan sehingga kebudayaan yang satu saling mempengaruhi kebudayaan yang lain. Di tanah Batak misalnya akibat pengaruh orang India beberapa perubahan-perubahan terdapat dalam kehidupan orang Batak seperti: tulisan Batak itu adalah tulisan India (mungkin langsung ditiru dari orang India di Barus, tetapi mungkin juga dari tulisan Jawa Kuno di Tapanuli Selatan dan tulisan Jawa Kuno sendiri ditiru dari tulisan India), astrologi (perbintangan), beberapa alat berguna tentang pertanian, pertenunan, kesenian, kesusastraan berupa kata-kata atau istilah-istilah Sansekerta (India), bahkan kepercayaan-kepercayaan.[4]

Pengaruh orang India di tanah Batak juga dapat dilihat melalui Candi Portibi yang ada di Padang Lawas (Tapanuli Selatan) sebagai salah satu saksi sejarah bekas peninggalan orang India (Hindu) di Tanah Batak. Di samping itu, pengaruh orang India juga telah sampai ke Balige (Toba-Samosir).[5]

Karena nama Balige sebenarnya berasal dari perkataan ‘Baligeraja’ yakni berasal dari bahasa Hindu ‘Mahligairaja’. Jauh masuk ke pedalaman kota Balige tepatnya di desa ‘Sibodiala’ masih kedapatan bekas tiang-tiang dari batu yang dinamai oleh penduduk ‘Sombaon Sibasiha’ (Keramat Tiang), yang diduga bakan atau bekas tiang-tiang candi ‘Mahligai-raja’ yang beralih menjadi Balige raja lalu menjadi Balige.[6]

Kuatnya pengaruh kebudayaan orang India di tanah Batak sampai membuat orang Batak kabur di dalam membedakan mana kebudayaan orang Batak asli  dan mana yang diserap dari orang India. Lebih aneh lagi, banyak kata, istilah bahkan kepercayaan yang diserap dari orang India lebih populer dibandingkan kata, istilah atau kepercayaan orang Batak. Memang kita akui, masuknya orang India ke tanah Batak tidak dapat menggantikan agama Batak animisme menjadi agama Hindu. Tetapi kita jangan lupa, banyak istilah dan tokoh kepercayaan orang India meresap masuk dan disembah dalam kepercayaan Batak (bahkan sampai sekarang). Misalnya dewa Batara Guru, dewa Soripada (jadi Balasori), dewa Mangalabulan, dewa Naga (jadi Nagapadoha), dewa Pani (ingat: Pane na Bolon), dan lain-lain yang merupakan tokoh dewa-dewa orang India yang meresap ke dalam kepercayaan orang Batak.[7]

2. SIAPAKAH NAMA ALLAH BAGI BANGSA BATAK ?

2.1. Kepercayaan Kuno Suku Bangsa Batak

Sebelum masuknya pengaruh agama Hindu, Islam, dan Kristen ke tanah Batak, orang Batak pada mulanya belum mengenal nama dan istilah ‘dewa-dewa’. Kepercayaan orang Batak dahulu (kuno) adalah kepercayaan kepada arwah leluhur[8] serta kepercayaan kepada benda-benda mati. Benda-benda mati dipercayai memiliki tondi (roh) misalnya: gunung, pohon, batu, dll yang kalau dianggap keramat dijadikan tempat yang sakral (tempat sembahan). Arwah leluhur ini lebih hormat lagi disebut dengan gelar sumangot.[9] Orang Batak percaya kepada arwah leluhur yang dapat menyebabkan beberapa penyakit atau malapetaka kepada manusia. Penghormatan dan penyembahan dilakukan kepada arwah leluhur akan mendatangkan keselamatan, kesejahteraan bagi orang tersebut maupun pada keturunan. Kuasa-kuasa inilah yang paling ditakuti dalam kehidupan orang Batak di dunia ini dan yang sangat dekat sekali dengan aktivitas manusia.[10]

Sebelum orang Batak mengenal tokoh dewa-dewa orang India dan istilah ‘Debata’, sombaon yang paling besar orang Batak (kuno) disebut ‘Ompu Na Bolon’ (Kakek/Nenek Yang Maha Besar). Ompu Nabolon (pada awalnya) bukan salah satu dewa atau tuhan tetapi dia adalah yang telah dahulu dilahirkan sebagai nenek moyang orang Batak yang memiliki kemampuan luar biasa dan juga menciptakan adat bagi manusia. Tetapi setelah masuknya kepercayaan dan istilah luar khususnya agama Hindu; Ompu Nabolon ini dijadikan sebagai dewa yang dipuja orang Batak kuno sebagai nenek/kakek yang memiliki kemampuan luar biasa. Untuk menekankan bahwa ‘Ompu Nabolon’ ini sebagai kakek/nenek yang terdahulu dan yang pertama menciptakan adat bagi manusia, Ompu Nabolon menjadi ‘Mula Jadi Nabolon’ atau ‘Tuan Mula Jadi Nabolon’. Karena kata Tuan, Mula, Jadi berarti yang dihormati, pertama dan yang diciptakan merupakan kata-kata asing yang belum pernah dikenal oleh orang Batak kuno. Selanjutnya untuk menegaskan pendewaan bahwa Ompu Nabolon atau Mula Jadi Nabolon adalah salah satu dewa terbesar orang Batak ditambahkanlah di depan Nabolon atau Mula Jadi Nabolon itu kata ‘Debata’ yang berarti dewa (=jamak) sehingga menjadi ‘Debata Mula Jadi Nabolon’.[11]

Jadi jelaslah, istilah Debata pada awalnya hanya dipakai untuk penegasan bahwa pribadi yang disembah masuk dalam golongan dewa. Dapat juga dilihat pada tokoh-tokoh kepercayaan Batak lainnya yang dianggap sebagai dewa mendapat penambahan kata ‘Debata’ di depan nama pribadi yang disembah. Misalnya Debata Batara Guru, Debata Soripada, Debata Asi-Asi, Debata Moelasungta, dan lain-lain.[12]

2.2.  Dari Kata Dewata menjadi Debata[13]

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, kata atau istilah debata berasal dari bahasa Sansekerta (India) yang mengalami penyesuaian dialek Batak. Karena dalam dialek Batak tidak mengenal huruf c, y, dan w sehingga dewata berubah menjadi debata atau nama Ceko dipanggil Seko, hancit (sakit) dipanggil menjadi hansit.[14]

Dari pengamatan penulis, setiap kata atau istilah Sansekerta yang memiliki huruf w, kalau masuk ke dalam Bahasa Batak akan diganti menjadi huruf b, atau huruf yang lain. Istilah-istilah Sansekerta yang diserap dalam bahasa Batak: istilah purwa  dalam  Sansekerta (India) menjadi purba dalam Batak Toba; wajawia menjadi manabia; wamsa menjadi bangso; pratiwi menjadi portibi; swara menjadi soara; swarga menjadi surgo.[15]

Dari contoh-contoh di atas, jelaslah bahwa setiap huruf w dalam bahasa Sansekerta (India) kalau dimasukkan ke dalam bahasa Batak akan berganti menjadi huruf b atau huruf lainnya. Wajar saja kalau Dewata dalam bahasa Sansekerta setelah masuk ke dalam bahasa Batak berganti menjadi Debata.

2.3 Masuknya Nama Debata dalam Alkitab (Bibel)[16]

Masuknya nama Debata ke dalam kitab suci yang berbahasa Batak, berawal dari kesulitan I.L. Nommensen dan P.H. Johannsen sekitar tahun 1874 dalam menerjemahkan beberapa kata dan istilah asing ke dalam bahasa Batak. Sedangkan alasan yang kedua yaitu masuknya nama Debata ke dalam Bibel adalah hanya langkah awal strategi pelayanan yang dilakukan oleh Nommensen dan Johannsen untuk orang Batak, karena kondisi orang Batak pada waktu itu belum tuntas meninggalkan kepercayaan animisme, sehingga perlu tahapan-tahapan dalam meluruskan penyembahan mereka kepada Tuhan Yesus. Dengan dasar pemikiran ini, Nommensen beserta Johannsen mencoba menerjemahkan sebutan Mahapencipta itu dengan memakai Debata karena orang Batak pada waktu itu hanya mengenal dan mengakui Debata Mula Jadi Nabolon-lah yang menciptakan alam semesta ini. Pemakaian nama Debata ini pada awalnya hanya untuk sementara waktu menunggu pertumbuhan rohani orang Batak dan suatu ketika akan disempurnakan untuk waktu depan.

Tetapi apa boleh buat, pada tahun 1913 Nommensen meninggal dunia ditambah lagi sekitar 1940 terjadi perang dunia II, yang mengakibatkan misionaris-misionaris Barat terpaksa meninggalkan Tanah Batak, sehingga proyek penerjemahan Bibel sekaligus penggantian nama Debata dari Bibel tidak berjalan. Sementara tampuk kepemimpinan gereja Batak (Toba) diambil alih oleh orang Batak yang masih baru dalam proses belajar atau belum benar-benar memahami tentang Injil. Proyek penyempurnaan Bibel pun tidak dilanjutkan bahkan sampai sekarang dan itulah yang diwarisi sampai saat ini.

3. DEBTA MULA JADI NABOLON SEBAGAI PENCIPTA

Dalam pembentukan nama Allah Tinggi Pencipta ini dua kata dijadikan unsur, yaitu  mula dan jadi. Kedua kata ini membentuk paham “menjadikan”  atau “memulakan”. Bolon berarti agung, akbar. Dengan demikian Allah ini lebih dikenal sebagai Pemula Agung atau Penjadi Agung, Pencipta Agung Dia adalah pencipta alam semesta. Dari muatan unsur kata dan semantik mitologi religius dapat disimpulkan bahwa kepada Allah Tinggi, Mulajadi, disifatkan sebagai “Pemula” segala jadi-jadian. diberikan tambahan Nabolon, Yang Agung, maka disifatkan kepadanya nama Pemula genesis agung, yakni alam raya ini. Sebagai Pemula dari alam raya, kepadanya disifatkan Tuhan Pemula Genesis Agung. singkatnya orang Batak menyebutnya sebagai Debata Mula Jadi Nabolon.[17]

Penciptaan berawal dalam waktu dan ini bertolak belakang dengan permulaan abadi Allah yang tinggi. Dalam diri-Nya ada kuasa absolut untuk memanggil segalanya ke dalam eksistensi melalui daya kreatif-Nya. Ada perbedaan esensial kodrat Pencipta dan ciptaan. Dia transenden terhadap ciptaan.[18] Transendensi Mulajadi Nabolon ini diimbangi oleh imanensinya. Kemahakuasaan dan kemahaluhuran-Nya diimbangi oleh kemesraan, belas kasih, keakraban dan keprihatinan-Nya kepada dunia.[19] Padanya ada sifat pemimpin ideal, penuntun, bahkan penjaga.[20] Ia adalah Allah pencipta yang transenden sekaligus imanen.

3.1 Debata Mula Jadi Nabolon: Creatio ex nihilo

Dr. Anicetus Sinaga mengatakan bahwa mengenai creatio ex nihilo beberapa hal lebih dahulu harus ditegaskan:

(1) Dari empat kata kerja “membuat”, yakni manompa, manjadihon, mangadonghon, dan mambahen, dua yang pertama adalah khas Allah dan dapat langsung diterjemahkan dengan creare. (2) penegasan mitologis bahwa “Mulajadi telah menciptakan segala-galanya” adalah jawaban atas pertanyaan mendalam yang implisit dalam hati Batak, dari mana asal alam semesta termasuk manusia? maka penegasan-penegasan itu mengandaikan bahwa Mulajadi Nabolon tidak mengandaikan adanya sesuatu di luar diri-Nya. (3) Namun, cara menciptakan pengada-pengada sealulah bersifat kisah, bukan penegasan teologis-logis. (4) meniru rumusan Hoetagaloeng 1926:6 “Dia sanggup menjadikan yang tidak ada (na so adong) sehingga menjadi ada”. (5) terdapat peribahasa yang cukup jelas menunjuk kemahakuasaan Mulajadi Nabolon: “Segala-galanya bergantung pada Allah”. (6) kesimpulan: Menyusur ungkapan “Dia sanggup menjadikan segala sesuatu yang ingin dijadikan-Nya, hanya dengan sabda saja” (Hoetagaloeng 1926:6), kita sependapat dengan Tobing 1963:11, yakni bahwa: Secara eksplisit memang tidak diberikan, tetapi tidak ada kesangsian bahwa kemahakuasaan Mulajadi Nabolon mencakup juga arti creatio ex nihilo.[21]

3.2 Debata Mula Jadi Nabolon dalam Tatanan Dalihan Na Tolu

Upacara adat Batak merupakan upacara religius yang menggambarkan atau memetakan roh sembahan para leluhur. Peta ini dapat terlihat dalam struktur masyarakat Batak yang disusun dengan prinsip yang arti hurufiah-nya “tungku yang berkaki tiga. Prinsip ini membagi status dan peranan seseorang dalam tiga bagian, yaitu : Hula-hula (pihak pemberi gadis), Dongan Sabutuha (teman seperut/semarga), dan Boru (pihak penerima gadis). Hubungan dalam Dalihan Na Tolu[22] ditata dalam suatu falsafah: Somba marhulahula, elek marboru, manat mardongan tubu.

Melalui ketiga kategori ini, setiap orang yang terlibat dalam upacara adat akan dipisahkan tempat duduknya (parhundulanna) berdasarkan hubungan kekerabatan (tutur) antara dia dengan Suhut, yaitu pihak yang mengadakan upacara. Pihak hula-hula duduk dalam suatu kelompok khusus, demikian juga pihak Boru dan Dongan sabutuha. Kehadiran mereka dalam upacara itu untuk melaksanakan segala kewajiban dan menerima segala hak yang telah ditentukan di dalam adat atau aturan hidup agama Batak. Setiap unsur dalam Dalihan Na Tolu memiliki hak dan kewajiban yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.[23]

Pada tatanan sosial, Dalihan Na Tolu menata hak dan kewajiban antara seseorang atau sekelompok orang dengan orang atau kelompok lainnya. Setiap orang dalam masyarakat Batak harus menjalankan perannya sesuai statusnya dalam konteks upacara adat. Pada suatu acara adat dia bisa berperan sebagai hula-hula, sedangkan pada cara lain dia bisa berperan sebagai boru atau dongan sabutuha. Setiap orang Batak akan menduduki ketiga status itu pada saat dan hubungan kekerabatan yang berlainan. Dr. Annicetus Sinaga menjelaskan struktur Dalihan Na Tolu menggambarkan hubungan 3 roh dewa sembahan leluhur yaitu Batara Guru, Mangala Sori (Bala Sori), dan Mangala Bulan (Bala Bulan). Dengan demikian, Dalihan Na Tolu merupakan tatanan rohani yang dimulai dari dunia atas (banua ginjang) dan harus dilakukan di bumi. Tiga roh dewa sembahan leluhur ini dikenal sebagai debata na tolu. Hula-hula merupakan personifikasi dari Batara Guru, Dongan Sabutuha personifikasi dari Mangala Sori dan Boru merupakan personifikasi dari Mangala Bulan.[24]

Struktur ini merupakan pola yang menata hubungan di dunia atas dan ditetapkan oleh Mulajadi Nabolon untuk juga diberlakukan di dunia manusia (banua tonga). Struktur ini dibangun dan dijamin keberadaannya oleh dewa tertinggi Batak, yaitu Debata Mulajadi Nabolon. Pelanggaran struktur ini merupakan pelanggaran terhadap ketetapan Debata Mulajadi Nabolon, dan merusakkan keseimbangan antara alam makrokosmos dengan alam mikrokosmos. Karena itu, pelanggaran ini akan mendapatkan sanksi dari debata sendiri. Ketakutan akan hukuman Debata Mulajadi Nabolon ini tertanam di hati orang Batak sehingga mereka tetap berupaya mempertahankan keberadaan upacara adat Batak.[25]

Dalam struktur ini, eksistensi roh sembahan leluhur di alam gaib atau banua ginjang direfleksikan di alam fisik atau banua tonga di dalam ketiga unsur Dalihan Na Tolu yang membangun suatu upacara adat, yaitu Hula-hula, Dongan Sabutuha, dan Boru.[26] Kehadiran ketiga roh sembahan leluhur dalam suatu upacara dinyatakan dalam kehadiran ketiga unsur Dalihan Na Tolu. Setiap upacara yang dilakukan harus dihadiri oleh ketiga unsur ini, kalau tidak, maka upacara adat tidak dapat dilaksanakan. Inilah ketetapan yang telah dibuat oleh Mulajadi nabolon.

Jadi struktur Dalihan Na Tolu merupakan proyeksi dari eksistensi ketiga dewa sembahan leluhur Batak yang ada di dunia atas (banua ginjang). Manusia sebagai pelaku upacara adat adalah sarana yang dijadikan untuk memproyeksikan eksistensi dan peranan roh sembahannya. Selama upacara adat Batak dilakukan, ketiga dewa tersebut tetap mendapat tempat untuk diproyeksikan eksistensinya dalam kehidupan bangsa Batak, sekalipun mereka tercatat sebagai orang yang beragama Kristen.

4. PENGGUNAAN NAMA ‘ALLAH’ DALAM ALKITAB[27]

‘El, Eloim, Eloah’ adalah nama pencipta alam semesta dalam bahasa Ibrani, bahasa asli Alkitab Perjanjian Lama. Dalam bahasa Arab, allah (bentuk ringkas al ilah)merupakan istilah yang seasal (cognate) dengan kata Ibrani el, elohim, eloah.

Jauh sebelum agama Islam, orang Arab yang beragama Kristen sudah menggunakan (baca: menyebut) allah ketika mereka berdoa kepada el, elohim, eloah. Bahkan tulisan-tulisan Kristiani dalam bahasa Arab pada masa itu sudah menggunakan istilah allah sebagai padanan kata untuk el, elohim, eloah.

Sekarang ini, Allah tetap digunakan dalam alkitab bahasa Arab, baik terjemahan lama (Arabic Bible) maupun terjemahan baru (Today’s Arabic Version).

Dari dulu sampai sekarang, orang Kristen di Mesir, Libanon, Irak, Indonesia, Malaysia, Brunai, Singapura, dan di berbagai negara di Asia serta Afrika yang dipengaruhi oleh bahasa Arab, terus menggunakan (baca: menyebut)  nama allah , jika ditulis biasanya menggunakan huruf kapital “Allah” untuk menyebut pencipta alam semesta dan Bapa tuhan kita Yesus Kristus, baik dalam ibadah maupun dalam tulisan-tulisan.

Dalam terjemahan-terjemahan bahasa Melayu dan bahasa Indonesia, kata “Allah” sudah digunakan terus-menerus sejak terbitan Injil Matius dalam bahasa Melayu yang pertama (terjemahan Albert Cornelis Ruyl, 1629), begitu juga dalam Alkitab Melayu yang pertama (terjemahan Melchior Leijdecker, 1733) dan Alkitab Melayu yang kedua (terjemahan Hillebrandus Cornelius klinkert, 1879) sampai saat ini.

Dalam septuaginta yaitu terjemahan Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani kata Ibrani el, elohim, eloah, diterjemahkan dengan kata Yunani theos, yang sama artinya dengan “Allah”. Jadi mengikuti cara itu maka theos dalam Perjanjian baru juga diterjemahkan dengan “Allah”.

5. PLURALISME PANDANGAN MENGENAI ALLAH[28]

Allah dipahami secara berbeda-beda, tidak hanya menurut perbadaan Agama. Dalam agama yang sama, misalnya dalam agama Kristen terdapat pandangan yang berbeda-beda. Terdapat banyak sekali cara mendekati dan memahami misteri Allah.

Konsili Vatikan II menyatakan bahwa sudah sejak dahulu kala hingga sekarang ini di antara pelbagai bangsa terdapat suatu kesadaran tentang daya kekuatan yang gaib, yang hadir pada perjalanan sejarah dan peristiwa-peristiwa hidup manusia; bahkan kadang-kadang ada pengakuan terhadap kuasa ilahi yang tertinggi ataupun Bapa. Kesadaran dan pengakuan tadi meresapi kehidupan bangsa-bangsa itu dengan semangat religius yang mendalam. Adapun agama-agama yang terikat pada perkembangan kebudayaan, berusaha menanggapi masalah-masalah tadi dengan paham-paham yang lebih rumit dan bahasa yang lebih dikembangkan (NA 2).

Dengan jelas konsili membedakan antara pengalaman dan pemahaman serta perumusan. perbedaan pengalaman dan pemahaman serta perumusan menyebabkan perbedaan antara agama. perjumpaan yang mendalam dengan saudara-saudari beriman lain, akan memperkaya kehidupan beriman dan beragama kita.[29]

Praktek kepercayaan mendorong untuk selalu mencari apa yang terpenting dalam kehidupan kita, yakni kesatuan dengan Allah. Hormat terhadap misteri kehidupan yang dialami melalui macam-macam hal dan peristiwa kehidupan. Iman kita akan Kristus membuat kita makin terbuka untuk menemukan Kristus di mana pun Ia berada[30], baik Allahnya orang Batak kuno maupun Allah yang kita imani sampai sekarang.

PENUTUP

Ada banyak gambaran mengenai Allah, yang semuanya berasal dari manusia sendiri. gambaran-gambaran itu biasanya sesuai dengan alam pikiran orang, dan dipengaruhi oleh keadaan sosio-psikisnya atau budaya dan tradisi.[31] maka perlu waspada terhadap gambaran-gambaran mengenai Allah. kita harus tetap membedakan antara gambaran yang dibuat manusia dan kenyataan Allah sendiri, karena Allah sendiri sesungguhnya tidak bisa digambarkan secara penuh. keagungan dan kedahsyatan Allah sering digambarkan secara menakutkan, bahkan sebagai penguasa yang bengis.[32]

Di dalam sistem religi/agama/kepercayaan Batak Debata Mulajadi Nabolon adalah pencipta pulau Sumatra dengan segala isinya melalui tangan manusia-dewi Siborudeakparujar.[33] Gambaran ini jelaslah buatan manusia. Debata Mulajadi Nabolon yang dipercayai bangsa Batak dalam kepercayaan kuno tidak sama dengan Allah yang kita percayai sekarang.

Semua telah terjadi dan kemungkinan untuk mengganti atau menghapus nama Debata dari Bibel sekarang ini sudah merupakan pekerjaan yang berat dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Yang menjadi pertanyaan bagi kita yang berlatar belakang suku bangsa Batak, saudara menyembah yang mana: dewa atau Pribadi yang menciptakan dewa itu yang disebut Mahapencipta, atau maukah saudara merendahkan Mahapencipta itu menjadi golongan dewa? Kalau saya, saya tidak mau merendahkan derajat Ilahi dari Mahapencipta itu dan saya tetap memuliakan dan meninggikan Mahapencipta itu dalam hidupku, sebaliknya saya menyangkali nama asing itu untuk disembah. Menurut pendapat penulis, imanlah yang bisa membantu kita dalam pencarian siapakah Allah yang sesungguhnya.

Iman mempertemukan manusia dengan Allah. Tetapi Allah tetap Allah. [34] Allah “bersemayam dalam terang yang tak terhampiri. Seorang pun tak pernah melihat Dia dan memang manusia tidak dapat melihat Dia. Bagi-Nyalah hormat dan kuasa yang kekal” (1Tim 6:16). “Tidak seorang pun yang pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya” (Yoh 1:18). Maka Allah tetap misteri. Iman adalah pergumulan terus-menerus mencari cahaya terang. Penghayatan hubungan dengan Allah selalu lebih penting daripada gambaran dan pengertian.

Daftar Pustaka:

Debata? Nama Pribadi Mahapencipta? http://be-e.info/wancil/page1/files/debata.html, 4 pebruari 2009.

Hardiwiyata, A. /LBI. “Siapakah yang Bernama ‘Allah’ itu?”, dalam Ekawarta No.05-   06/XIX , September-Desember, 1999.

Hutagalung,  W.H. Pustaha Batak: Tarombo dohot Turi-turian ni Bangso Batak, [tanpa tempat]: Tulus Jaya, 1991.

Kanisius, L. S. Allah dan Pluralisme Religius: Menelaah Gagasan Raimund Pannikar, Jakarta: OBOR, 2006.

KWI, Iman Katolik:Buku Informasi dan referensi, Yokyakarta & Jakarta: Kanisius & Obor, 1996.

Pasaribu, Rudolf. Agama Suku dan Batakologi, Medan: Pieter, 1988.

Siahaan, N. B. A. Sejarah Kebudayaan Batak: Suatu Studi tentang Suku Batak (Toba-Angkola-Mandailing-Simalungun-Pakpak Dairi-Karo), Medan: CV. Napitupulu & Sons, 1964.

Sihombing, T. M. Jambar Hata, [tanpa tempat]: CV. Tulus Jaya, 1989.

Sinaga, Anicetus. Dendang Bakti: Inkulturasi Teologi dalam Budaya Batak, Medan: Bina Media Perintis, 2004.

Sinaga, Rheinhard. Siapakah Debata (Dewata) itu?, http://artikel.sabda.org/siapakah_debata_itu, 8 Jan 2009.


[1] Silvester Kanisius L., Allah dan Pluralisme Religius: Menelaah Gagasan Raimund Pannikar (Jakarta: OBOR, 2006),  hlm. xiv.

[2] Rudolf Pasaribu, S.Th, Agama Suku dan Batakologi (Medan: Pieter, 1988 ),  hlm. 136.

[3] N. Siahaan, B. A., Sejarah Kebudayaan Batak: Suatu Studi tentang Suku Batak (Toba-Angkola-Mandailing-Simalungun-Pakpak Dairi-Karo), (Medan: CV. Napitupulu & Sons, 1964), hlm 22.

[4] N. Siahaan, B. A., Sejarah Kebudayaan Batak….hlm. 23.

[5] Rheinhard Sinaga, Siapakah Debata (Dewata) itu?, http://artikel.sabda.org/siapakah_debata_itu, 8 Jan 2009.

[6] Rheinhard Sinaga, Siapakah Debata,…8 Jan 2009.

[7] Rheinhard Sinaga, Siapakah Debata,...8 Jan 2009.

[8] Arwah leluhur diidentifikasikan sebagai roh atau dalam bahasa Batak disebut dengan “begu”, misalnya begu nurnur, begu jau, begu siharsihar, begu antuk, begu ladang, begu toba, begu siharut, begu surpusurpu, begu sorpa, begu pane, begu rojan, begu namora, dan lain-lain. Lihat T. M. Sihombing, Jambar Hata ([tanpa tempat]: CV. Tulus Jaya, 1989),  hlm. 286.

[9] Di antara begu, roh leluhur yang sudah meninggal menduduki tempat khusus dan diberi gelar baru, yaitu sumangot. Sumangot adalah arwah orang tua yang telah meninggal lengkap dengan anak cucunya; penyandang sahala yang unggul sebagaimana terbukti dalam kemakmuran, hagabeon, hasanganpon pada anak cucunya telah diangkat secara resmi dari status begu menjadi sumangot. Lih. Anicetus Sinaga, Dendang Bakti: Inkulturasi Teologi dalam Budaya Batak (Medan: Bina Media Perintis, 2004), hlm. 91.

[10] Debata? Nama Pribadi Mahapencipta? http://be-e.info/wancil/page1/files/debata.html, hlm. 59., 4 pebruari 2009.

[11] Debata? Nama Pribadi,… hlm. 59.

[12] W.H. Hutagalung, Pustaha Batak: Tarombo dohot Turi-turian ni Bangso Batak ([tanpa tempat]: Tulus Jaya, 1991), Hlm. 1-2.

[13] Debata? Nama Pribadi,… hlm. 59.

[14] Debata? Nama Pribadi,… hlm. 60.

[15] Debata? Nama Pribadi,… hlm. 60.

[16] Debata? Nama Pribadi,… hlm. 62

[17] Anicetus Sinaga, Dendang Bakti: …, hlm.52.

[18] Anicetus Sinaga, The Toba – Batak High God Transendence and Immanence (West Germany: Antrophos Institut D-5205 St. Augustin, 1981), hlm. 50.

[19] Ia disebut manatap, martinangi, marbinege, sian langit ni langitkan, sian ginjang ni ginjangan … nauntopap sambubu nami, na pahibul pusupusu, naparimpur jari-jari …. Lih. Raja Patik Tampubolon, Pustaha Tumbaga …, hlm. 31.

[20] Mulajadi Nabolon disebut raja sitading dapotan, panungkunan ni uhum, pandapotan ni adat, … pamuro na so mantat sior, parmahan na so mantat batahi, na di pudi dipaima, na di jolo dieahi, pangalualuan ni nabile, pangompasompasan ni na maliali. Anicetus Sinaga, Dendang Bakti: …, hlm. 58.

[21] Anicetus Sinaga, Dendang Bakti: …, hlm.61-62.

[22] Anicetus Sinaga, The Toba – Batak High…, hlm. 75.

[23] Rheinhard Sinaga, Siapakah Debata,…8 Jan 2009.

[24] Anicetus Sinaga, The Toba – Batak High…, hlm. 76.

[25] Rheinhard Sinaga, Siapakah Debata,…8 Jan 2009.

[26] T. M. Sihombing, Jambar Hata ([Tanpa tempat]: CV. Tulus Jaya, 1989), hlm. 23-25.

[27] Penggunaan nama ‘Allah dalam Alkitab ini dikutib dari A. Hardiwiyata/LBI, “Siapakah yang Bernama ‘Allah’ itu?”, dalam Ekawarta No.05-06/XIX (September-Desember, 1999), hlm. 8-9.

[28] Pluralisme pandangan mengenai Allah dikutip dari KWI, Iman Katolik:Buku Informasi dan referensi (Yokyakarta & Jakarta: Kanisius & Obor, 1996), hlm.134-135.

[29] KWI, Iman Katolik….hlm. 134.

[30] KWI, Iman Katolik….hlm. 135.

[31] KWI, Iman Katolik….hlm. 133.

[32] KWI, Iman Katolik….hlm. 133.

[33] Manusia pertama orang Batak yaitu si Raja Batak dipercayai sebagai keturunan Siraja Ihatmanisia dan Siboru Itammanisia. Kedua orang ini adalah hasil perkawinan Siborudeakparujar dengan Tuan Rumagorgarumauhir. Siborudeakparujar adalah anak Debata Bataraguru. Tuan Rumagorgarumauhir adalah anak Debata Balabulan. Debata Bataraguru dan Debata Balabulan adalah anak Debata Mulajadinabolon hasil perkawinan dengan Manuk Hulambujati. Manusia pertama atau leluhur orang Batak, si Raja Batak yang dipercayai tinggal di Dolok Pusuk Buhit adalah keturunan Debata Mulajadi Nabolon. Rheinhard Sinaga, Siapakah Debata,…8 Jan 2009.

[34] KWI, Iman Katolik….hlm. 131.

Tentang lasnersiregar

aku adalah aku yang diakukan oleh aku yang lain Terimakasih bagi semua yang berkenan menerima saya menulis sesuatu di blog ini. Saya mau membagikan sedikit permenungan-pemenungan sehari-hari yang bisa menggugah hati, sekurang-kurangnya hatiku sendiri. Saya tidak pandai berkata-kata, tetapi saya mau mencoba lebih lagi. Salam sejahtera bagi kita semua.
Pos ini dipublikasikan di artikel. Tandai permalink.

3 Balasan ke NAMA ALLAH BAGI BANGSA BATAK TOBA

  1. ben'z berkata:

    pa so ma on bo; sehat2 ma da…..

  2. ben'z berkata:

    horas ma da…

  3. Anonim berkata:

    intan idia ho

Tinggalkan Balasan ke ben'z Batalkan balasan